Jumat, 12 April 2013

contoh makalah ijtihad




PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IJTIHAD







Oleh
Sulistina


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2012


DAFTAR ISI

                                                                                                                     Halaman
HALAMAN SAMPUL       i
DAFTAR ISI      ii
I.       PENDAHULUAN     1
 RUMUSAN MASALAH     2
II.    PEMBAHASAN     2
III.1 Pengertian Ijtihad      2
III.2 Dasar Hukum Ijtihad      4
III.2.1 Dari Al-Qur’an      5
III.2.2 Dari Hadist      5
III.3 Macam-macam Ijtihad     7
        III.3.1 Ijtihad Muthlaq Mustaqil     7
III.3.2 Ijtihad Muthlaq Muntasib     7
        III.3.3 Ijtihad dalam mahzab     7
        III.3.4 Ijtihad Tarjih     7
III.4 Syarat-syarat Mujtahid     9
III. KESIMPULAN   11
IV. PENUTUP   11
DAFTAR PUSTAKA   12




IJTIHAD

I.         PENDAHULUAN
Perkembangan hukum dalam prosesnya dibagi menjadi empat  periode yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklil serta kemunduran. Seperti yang telah diketahui bahwasanya wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dalam sekaligus melainkan berangsur-angsur dimulai dari Mekkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu yang sudah diturunkan itulah nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat islam pada waktu itu. Ada kalanya timbul persoalan yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah diteruma nabi. Dalam serupa ini nabi memakai ijtihad atau pendapat yang dihasilkan pemikiran mendalam. Apabila ijtihad yang dilakukan nabi benar, ketentuan atau hukum yang beliau keluarkan itu tidak lagi mendapat tantangan dengan turunnya ayat Al-Qur’an untuk memperbaikinya. Tetapi apabila ijtihad itu tidak benar, ayat turun untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu ijtihad nabi dipandang mendapat lindungan dari Allah dan tidak bisa salah. Ijtihad yang diturunkan nabi, diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui sunah atau tradisi nabi. Sunah itu terkandung dalam hadist[1].
Orang yang mempelajari sejarah Islam tentunya mengetahui bahwa dengan perluasan politik Islam maka pemikiran hukum yang sistematis menjadi suatu keharusan dan para ahli hukum yang dulu, baik bangsa arab maupun bukan, telah bekerja dengan tidak henti-hentinya hingga dapat mengumpulkan semua kekayaan pemikiran hukum pada waktu itu dalam bentuk final dari mazhab-mazhab fiqih yang telah diakui bersama.
Fiqih merupakan segala hukum yang terpetik dari Kitabullah dan Sunnaturrasul dengan mempergunakan ijtihad.Maka menjadi bagian penting untuk  memahami makna dari ijtihad tersebut.Syariat islam adalah syariat yang berdasarkan wahyu ilahi dan as-sunah, ataupun diwujudkan oleh akal seperti ijma’, qiyas, dll. Ijtihad menjadi jalan yang harus  dilalui untuk mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil tersebut dan jalan yang harus dilalui untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh muamalah dan hajat-hajat pergaulan. Inilah sebabnya ijtihad menjadi penggerak yang sangat diperlukan dalam sejarah pertumbuhan syara’[2].

II.      RUMUSAN MASALAH

1.      Pengertian ijtihad
2.      Dasar hukum ijtihad
3.      Macam-macam ijtihad
4.      Syarat-syarat mujtahid


III.    PEMBAHASAN

III.1 Pengertian Ijtihad

           Para mujahidin memiliki banyak pengertian tentang ijtihad ini yang dalam bahasa Belanda dikatakan hoogste greet van wet geleerheid dengan berbagai macam arti yakni diantaranya:
a.       Menurut  Asj Syafi’i bahwasanya ijtihad sama halnya dengan Qiyas, yang berarti ijtihad itu menjalankan Qiyas, atau membandingkan suatu hukum kepada  hukum yang lain.Dalam arti luas ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari kitabullah dan hadist rasul.
b.      Menurut al-Amidy: mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanny.
c.       Menurut Tajuddin Ibnu Subky: mengerahkan segala kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
d.      Menurut Abd. Wahhab Khallaaf: mencurahkan daya kemapuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalili-dalil syara’ secara terperinci.
e.       Menurut Akhmad Dahlan: Ijtihad adalah usaha yang sungguh” untuk menentukan hukum adalah satu”nya jalan untuk memungkinkan Islam menghadapi berbagai masalah dunia yang mengalami perubahan itu.
f.       Menurut A. Haamid Hakim: ialah mencurahkan segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara istinbat (mengeluarkan/melahirkan hukum) dari Al-qur’an dan Hadist.
g.      Menurut Thommas Patrick Hughes: penalaran dari yang umum kepada yang khusus mengenai persoalan menyangkut bidang hukum Islam dan aqidah oleh seorang mujtahid atau cendikiawan yang bergelar doktor. Ijtihad itu berbeda dengan ijma’ yang merupakan kumpulan pendapat yang disepakati(mengenai beberapa persoalan) dari para ulama[3].
h.      Sedangkan secara harfiah ijtihad berarti usaha keras. Dalam terminology hukum islam itu berarti berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah hukum[4]. Ide ijtihad ini mempunyai dasar pada ayat al-qur’an yang menyatakan:

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridoan) kami, sungguh akan kami tunjukkan kepada mereka jalan kami”(QS Al Ankabut/ 29: 69).

Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat adanya persamaan pandangan walaupun redaksinya berbeda namun pada prinsipnya mereka sepakat, bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak.Semenjak terkodifikasinya ilmu ushul fiqih oleh al-syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fiqih dan ushul fiqih saja, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah SAW dan sahabatnya dipergunakan pada hampir setiap aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari: qiyas, istishlah, istihsan, mashlahah mursalah dan sebagainya.
Dari uraian tersebut dapat diuraikan bahwasanya ijtihad memiliki garis besar seperti berikut[5]:
a.       Pekerjaan         : pengarahan daya pikir sekuat-kusatnya.
b.      Pelaku             : ahli fiqih, ahli hukum agama islam yang memenuhi persyaratan yang disebut mujtahid.
c.       Lapangan        : suatu masalah yang tidak terdapat nash sorihnya dalam Al-Qur’an.
d.      Tujuan             : mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah.
e.       Sifat hukum    : dzanny, bukan qot’ie (dugaan kuat, bukan kepastian).
f.       Dasar/sumber  : Al-Qur’an dan hadist
g.      Sistem/kaedah : menurut jalan pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqih, dibantu dengan qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya).

III.2 Dasar Hukum Ijtihad

Dasar-dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).

III.2.1 Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an, antara lain:
“Maka jika kamu berbantah-bantahan kepada suatu urusan, kembalikanlah akan dia kepada Allah dan Rasulnya”. (Q.A. 59 s: 4: An-Nisa’).
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S. al-Ra’ad:3; al-Rum:21; al-Zumar:42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Q.S. al-Hasyr:2).
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar.
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S. al-Hasyr:2)
Kata dalam ayat tersebut mencakup penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash, yang dikenal dengan sebutan qiyas. Jadi, ayat diatas secara terbuka mengakui prinsip ijtihad dengan metode qiyas sebagai salah satu cara untuk berijtihad.

III.2.2 Dari Hadits

Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:
Dari Mu’az bin Jabal berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana upaya kamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’az menjawad, “akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah(Al-Qur’an)”. Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an?” Mu’az menjawab, “akan aku selesaikan berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam sunnah Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dari Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menelesaikannya?” Mu’az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan rasioku dan tidak mengabaikannya”. Kemudian Rasulullah menepik dada Mu’az sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta rasul-nya terhadap apa yang direstui oleh Rosulullah”. (H.R. Abu Dawud).[6]
           Hadist tersebut berkenaan dengan riwayat ketika Mu’az bin Jabal akan diutus menjadi qodhidi negeri Yaman. Tetapi sahabat nabi itu tidak pernah bersikap fanatik terhadap pendapatnya, ia selalu mengatakan: ”inilah pendapat saya……….. dan kalau ada yang lain membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapat itulah yang lebih benar”.
Dari Amr bin ‘Ash ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila seorang Hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia herijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala”. (H.R. Muslim dan Ahmad)
           Dari dua hadist di atas, sangatlah jelas bahwasanya ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, apabila tidak ditemukan didalam Al-qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah.hadist-hadist di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu beriktihad untuk melakukan ijtihad.

III.3 Macam-macam Ijtihad

Ijtihad menurut tingkatan-tingkatannya secara berurutan dari yang tertinggi sampai yang paling rendah adalah[7]:

III.3.1 Ijtihad Muthlaq Mustaqil
Merupakan tingkat paling tinggi yang mana si mujtahid secara sendiri/berdiri sendiri tanpa terikat kepada orang lain, baik dalam ushul maupun furu’.
Dalam tingkat ini si mujtahid langsung ber-istimbat dari al-qur’an dan sunnah dengan menggariskan manhaj (sistem) istimbat sendiri.

III.3.2 Ijtihad Muthlaq Muntasib
Merupakan tingkat lebih dibawah dari ijtihad Mutlak. Disini si mujtahid terikat kepada imam dalam ushul. Artinya ia berijtihad dengan menggunakan ushul imam, walaupun dalam furu’ yang diijtihadinya itu ia tidak terikat kepada hasil ijtihadd imam. Ia hanya berijtihad dalam furu’ saja.

III.3.3 Ijtihad dalam mahzab
Ijtihad ini menduduki urutan ketiga dalam mana si mujtahid mengikuti imam(tidak berijtihad) baik dalam ushul aupun furu’ yang sudah diijtihadi imam. Dalam dua hal ini ia terikat kepada imam. Ia hanya berijtihad dalam masalah-masalah yang belum digarap oleh imam-imam terdahulu dan dalam menggarap masalah-masalah tersebut ia menggunakan ushul imam yang diikutinya.
III.3.4 Ijtihab Tarjih
Merupakan tingkat ijtihad paling rendah yang mana mujtahid tidak berijtihad baik dalam ushul, furu’, maupun dalam masalah-masalah yang belum diijtihadkan dan diriwayatkan hukumnya oleh imam. Mujtahid   hanya memilih saja diantara pendapat-pendapat sudah ada melalui tarjih , dengan cara-cara yang sudah ditentukan oleh para pendahulu-pendahulunya.
Dengan demikian ada dua macam tarjih dalam ushul figh, ialah tarjih terhadap dalil yang pada lahirnya bertentangan, dan ini bisa saja menjadi pekerjaan mujtahid mutlak; dan tarjih terhadap pendapat yang sudah ada. Ini hanya merupakan pekerjaan mujtahid dari tingkat yang paling rendah.
           Berkaitan dengan ruang lingkup ijtihad para ulama ushul sepakat bahwasanya ijtihad ini hanya terjadi pada ayat-ayat yang bersifat zhanniyah, karena sebagian dari materi-materi hukum dalam Al-Qur’an dan Sunah, sudah terbentuk diktum yang odentik, yakni tidak mengandung pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik oleh sunah itu sendiri. Di samping itu, juga ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak atau berdasarkan ijma’.
           Peraturan hukum islam seperti kewajiba shalat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada orang tua, mengasihi orang miskin, serta menyantuni anak yatim dan larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa hak dan lain-lain adalah termasuk kategori hukum islam yang sudah diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak memerlukan interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah begitu jelas dan otentik dalam teori maupun praktek. Jenis peraturan tersebut disebut dengan mujma’’alaih wa ma’lum min al-din bi al–dharrah dan bersifat qath’iyyah. Hal ini diketahui secara terus menerus sejak dari masa Rasulullah SAW hingga saat ini. Pengetahuan yang demikian memang sudah meyakinkan dan tidak perlu lagi interpretasi. Hal demikian tidak perlu lagi diijtihadkan, sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah ada ketetapan nash”.
 Salah satu contoh suatu nash yang sudah tegas syarih lagi qath’i wurud dan qath’i dalalahnya ialah seperti firman Allah S.W.T:
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing keduanya seratus kali” (Q.2 S.24. An-Nur).    
Ruang lingkup ijtihad secara rinci adalah sebagai berikut[8]:
1.Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang Zhanny, baik dari segi wurudnya, maupun dari segi pengertiannya(dalalahnya) yaitu hadist ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari itu.
2.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka objek ijtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
3.Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka obyek ijtihadnya adalah para sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4.Tidak ada nash dan ijma’, maka disini ijtihadnya hanya dilakukan segenap metode dan cara.

III.4 Syarat-syarat Mujtahid
           Menurut Munawar Holil: “Ijtihad itu adalah menghabiskan kesanggupan seorang faqih (ahli fiqih) untuk menghasilkan dzan(sangkaan) dengan menetapkan suatu hukum syara’ dan orang yang menghabiskan/mencurahkan kesanggupannya/kemampuannya demikian itu dinamakan Mujtahid”.[9]
Mujtahid sebenarnya ialah seorang yang melakukan ijtihad secara bebas tidak mengikuti atau mendasarkan kepada pendapat orang lain, suatu tingkat/martabat yang sangat tinggi dalam lapangan hukum islam. Dengan kata lain ia berijtihad dalam ushul dan furu’. Ijtihad ini hanya dapat dilakukan oleh mujtahid yang memiliki delapan persyaratan, yaitu:

1.      Menguasai bahasa arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.
2.      Menguasai Al-qur’an
Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat, mengetahui Asbab al-nuzul serta mengetahui nasikh dan mansukh dalam al-qur’an.

3.      Menguasai as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW, mengetahui ilmu diroyah hadits, mengetahui hadist yang nasikh dan mansukh, dan mengetahui asbab al-wurud dalam hadis.
4.      Menguasai Qiyas
5.      Menguasai segi perbedaan dan kesempatan pendapat ulama
6.      Memahami tujuan hukum
7.      Memehami pemahaman sehat dan pertimbangan baik, dan
8.      Mempunyai iktikad baik
Seorang mujtahid terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu[10]:
a.       Mujtahid mutlaq, ialah seorang ulama’/imam yang sanggup menentukan suatu hukum dengan jalan istimbat langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadist, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.
b.      Mujtahid fatawi, ialah ulama’/imam yang sanggup untuk melanjutkan (mencari mana yang kuat) dalam memahami dalil dan tidak cukup kuat ber-istimbat langsung; contoh: Imam Rofi’ie, Imam Nawawi dan sebagainya.
c.       Mujtahid mahzhab, ialah ulama/imam yang sanggup beristimbat dari kaidah-kaidah yang dibuat oleh imam yang diikuti madzabnya; contoh: Imam Asnawi dan lain-lain.

IV.   KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.

V.   PENUTUP
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam, yang dibimbing oleh Muhammad Haidlor,S.Si., Lc, tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan makalah penulis. Harapan pemakalah semoga makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Marbaie, Achmad, Hukum Islam, Jember: Fakultas Hukum UNEJ, 1999
Ash-shiddiq, Hasbi, Pengantar Hukum Islam Tjetakan ke II, Yokyakarta: PT Bulan Bintang, 1953
Ash-shiddiq, Hasbi, Pengantar Hukum Islam jilid I, Yokyakarta: PT Bulan Bintang, 1980
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984
Yanggo, Huzaemah T, Pengantar Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Gaung Persada(GP) Press, 1996








[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, hlm 10
[2] M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, cetakan ke.2 1958, hlm  23-24
[3] Prof.Dr.Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, hlm 2
[4] Prof.Dr.A. Mukti Ali,  Ijtihad dalam pandangan M.abduh, A.dakhlan, dan M.iqbal , hlm 24
[5] H. Achmad Marbaie, SH., MS., Hukum Islam Fakultas Hukum UNEJ, hlm 48
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar