PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IJTIHAD
Oleh
Sulistina
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2012
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
SAMPUL
i
DAFTAR
ISI
ii
I.
PENDAHULUAN
1
RUMUSAN MASALAH
2
II.
PEMBAHASAN
2
III.1 Pengertian Ijtihad
2
III.2 Dasar Hukum
Ijtihad
4
III.2.1
Dari Al-Qur’an
5
III.2.2 Dari
Hadist
5
III.3 Macam-macam Ijtihad
7
III.3.1
Ijtihad Muthlaq Mustaqil
7
III.3.2 Ijtihad Muthlaq
Muntasib
7
III.3.3
Ijtihad dalam mahzab
7
III.3.4
Ijtihad Tarjih
7
III.4 Syarat-syarat
Mujtahid
9
III. KESIMPULAN
11
IV. PENUTUP
11
DAFTAR
PUSTAKA
12
IJTIHAD
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
hukum dalam prosesnya dibagi menjadi empat
periode yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad serta
kemajuan dan periode taklil serta kemunduran. Seperti yang telah diketahui
bahwasanya wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dalam sekaligus
melainkan berangsur-angsur dimulai dari Mekkah dan disudahi di Madinah. Atas
dasar wahyu yang sudah diturunkan itulah nabi menyelesaikan persoalan-persoalan
yang timbul dalam masyarakat islam pada waktu itu. Ada kalanya timbul persoalan
yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah diteruma nabi.
Dalam serupa ini nabi memakai ijtihad atau pendapat yang dihasilkan pemikiran
mendalam. Apabila ijtihad yang dilakukan nabi benar, ketentuan atau hukum yang
beliau keluarkan itu tidak lagi mendapat tantangan dengan turunnya ayat
Al-Qur’an untuk memperbaikinya. Tetapi apabila ijtihad itu tidak benar, ayat
turun untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu ijtihad nabi
dipandang mendapat lindungan dari Allah dan tidak bisa salah. Ijtihad yang
diturunkan nabi, diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui sunah
atau tradisi nabi. Sunah itu terkandung dalam hadist[1].
Orang yang
mempelajari sejarah Islam tentunya mengetahui bahwa dengan perluasan politik
Islam maka pemikiran hukum yang sistematis menjadi suatu keharusan dan para
ahli hukum yang dulu, baik bangsa arab maupun bukan, telah bekerja dengan tidak
henti-hentinya hingga dapat mengumpulkan semua kekayaan pemikiran hukum pada
waktu itu dalam bentuk final dari mazhab-mazhab fiqih yang telah diakui
bersama.
Fiqih
merupakan segala hukum yang terpetik dari Kitabullah dan Sunnaturrasul dengan
mempergunakan ijtihad.Maka menjadi bagian penting untuk memahami makna dari ijtihad tersebut.Syariat
islam adalah syariat yang berdasarkan wahyu ilahi dan as-sunah, ataupun
diwujudkan oleh akal seperti ijma’, qiyas, dll. Ijtihad menjadi jalan yang
harus dilalui untuk mengistimbatkan
hukum dari dalil-dalil tersebut dan jalan yang harus dilalui untuk menentukan
batasan yang dikehendaki oleh muamalah dan hajat-hajat pergaulan. Inilah
sebabnya ijtihad menjadi penggerak yang sangat diperlukan dalam sejarah
pertumbuhan syara’[2].
II. RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian ijtihad
2.
Dasar hukum ijtihad
3.
Macam-macam ijtihad
4.
Syarat-syarat mujtahid
III.
PEMBAHASAN
III.1
Pengertian Ijtihad
Para mujahidin memiliki banyak
pengertian tentang ijtihad ini yang dalam bahasa Belanda dikatakan hoogste greet van wet geleerheid dengan
berbagai macam arti yakni diantaranya:
a.
Menurut Asj Syafi’i bahwasanya ijtihad sama halnya
dengan Qiyas, yang berarti ijtihad
itu menjalankan Qiyas, atau membandingkan suatu hukum kepada hukum yang lain.Dalam arti luas ijtihad
adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari kitabullah
dan hadist rasul.
b.
Menurut al-Amidy: mencurahkan segala
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanny.
c.
Menurut Tajuddin Ibnu Subky: mengerahkan
segala kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
d.
Menurut Abd. Wahhab Khallaaf: mencurahkan
daya kemapuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalili-dalil syara’ secara
terperinci.
e.
Menurut Akhmad Dahlan: Ijtihad adalah
usaha yang sungguh” untuk menentukan hukum adalah satu”nya jalan untuk
memungkinkan Islam menghadapi berbagai masalah dunia yang mengalami perubahan
itu.
f.
Menurut A. Haamid Hakim: ialah
mencurahkan segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara
istinbat (mengeluarkan/melahirkan hukum) dari Al-qur’an dan Hadist.
g.
Menurut Thommas Patrick Hughes:
penalaran dari yang umum kepada yang khusus mengenai persoalan menyangkut
bidang hukum Islam dan aqidah oleh seorang mujtahid atau cendikiawan yang
bergelar doktor. Ijtihad itu berbeda dengan ijma’
yang merupakan kumpulan pendapat yang disepakati(mengenai beberapa persoalan)
dari para ulama[3].
h.
Sedangkan secara harfiah ijtihad berarti
usaha keras. Dalam terminology hukum islam itu berarti berusaha
sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah
hukum[4].
Ide ijtihad ini mempunyai dasar pada ayat al-qur’an yang menyatakan:
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh untuk (mencari keridoan) kami, sungguh akan kami tunjukkan
kepada mereka jalan kami”(QS Al Ankabut/ 29: 69).
Dari beberapa definisi ijtihad di atas
terlihat adanya persamaan pandangan walaupun redaksinya berbeda namun pada
prinsipnya mereka sepakat, bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan energi yang banyak.Semenjak terkodifikasinya ilmu ushul fiqih oleh
al-syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fiqih dan
ushul fiqih saja, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah SAW dan
sahabatnya dipergunakan pada hampir setiap aspek ilmu pengetahuan. Meskipun
pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga,
namun pada masa tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari: qiyas, istishlah, istihsan, mashlahah
mursalah dan sebagainya.
Dari uraian tersebut dapat diuraikan
bahwasanya ijtihad memiliki garis besar seperti berikut[5]:
a.
Pekerjaan : pengarahan daya pikir sekuat-kusatnya.
b.
Pelaku :
ahli fiqih, ahli hukum agama islam yang memenuhi persyaratan yang disebut
mujtahid.
c.
Lapangan :
suatu masalah yang tidak terdapat nash sorihnya dalam Al-Qur’an.
d.
Tujuan :
mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah.
e.
Sifat hukum : dzanny, bukan qot’ie (dugaan kuat, bukan kepastian).
f.
Dasar/sumber : Al-Qur’an dan hadist
g.
Sistem/kaedah : menurut jalan pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur
dalam ilmu ushul fiqih, dibantu
dengan qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan
sebagainya).
III.2 Dasar Hukum Ijtihad
Dasar-dasar
hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW,
yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta
mengambil i’tibar (pelajaran).
III.2.1
Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an,
antara lain:
“Maka jika kamu
berbantah-bantahan kepada suatu urusan, kembalikanlah akan dia kepada Allah dan
Rasulnya”. (Q.A. 59 s: 4: An-Nisa’).
“Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S.
al-Ra’ad:3; al-Rum:21; al-Zumar:42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Q.S.
al-Hasyr:2).
Ayat-ayat
tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta
mengambil i’tibar.
“Sesungguhnya kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.
al-Hasyr:2)
Kata
dalam ayat tersebut mencakup penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum
dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash, yang dikenal dengan sebutan qiyas. Jadi, ayat diatas secara terbuka
mengakui prinsip ijtihad dengan metode qiyas
sebagai salah satu cara untuk berijtihad.
III.2.2 Dari Hadits
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara
lain:
Dari Mu’az bin Jabal
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana upaya kamu dalam
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’az menjawad, “akan aku
putuskan berdasarkan Kitabullah(Al-Qur’an)”. Kemudian Nabi bertanya lagi,
“Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an?” Mu’az
menjawab, “akan aku selesaikan berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam sunnah
Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak
kamu dapati dari Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menelesaikannya?” Mu’az
menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan rasioku dan tidak
mengabaikannya”. Kemudian Rasulullah menepik dada Mu’az sambil bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta rasul-nya
terhadap apa yang direstui oleh Rosulullah”. (H.R. Abu
Dawud).[6]
Hadist tersebut berkenaan dengan
riwayat ketika Mu’az bin Jabal akan diutus menjadi qodhidi negeri Yaman. Tetapi
sahabat nabi itu tidak pernah bersikap fanatik terhadap pendapatnya, ia selalu
mengatakan: ”inilah pendapat saya………..
dan kalau ada yang lain membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapat itulah
yang lebih benar”.
Dari
Amr bin ‘Ash ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila seorang Hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad,
kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan
apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia herijtihad, kemudian ternyata
ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala”. (H.R.
Muslim dan Ahmad)
Dari dua hadist di atas, sangatlah
jelas bahwasanya ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW untuk dijadikan sebagai salah
satu sumber hukum Islam, apabila tidak ditemukan didalam Al-qur’an dan Sunnah
dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk hukum masalah yang aktual,
walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan
Allah.hadist-hadist di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah
mampu beriktihad untuk melakukan ijtihad.
III.3 Macam-macam Ijtihad
Ijtihad menurut tingkatan-tingkatannya
secara berurutan dari yang tertinggi sampai yang paling rendah adalah[7]:
III.3.1
Ijtihad Muthlaq Mustaqil
Merupakan tingkat paling tinggi yang mana si
mujtahid secara sendiri/berdiri sendiri tanpa terikat kepada orang lain, baik
dalam ushul maupun furu’.
Dalam
tingkat ini si mujtahid langsung ber-istimbat
dari al-qur’an dan sunnah dengan menggariskan manhaj (sistem) istimbat
sendiri.
III.3.2 Ijtihad Muthlaq
Muntasib
Merupakan tingkat lebih dibawah dari ijtihad Mutlak.
Disini si mujtahid terikat kepada imam dalam ushul. Artinya ia berijtihad
dengan menggunakan ushul imam,
walaupun dalam furu’ yang diijtihadinya itu ia tidak terikat kepada hasil
ijtihadd imam. Ia hanya berijtihad dalam furu’ saja.
III.3.3 Ijtihad dalam
mahzab
Ijtihad ini menduduki urutan ketiga dalam mana si
mujtahid mengikuti imam(tidak berijtihad) baik dalam ushul aupun furu’ yang
sudah diijtihadi imam. Dalam dua hal ini ia terikat kepada imam. Ia hanya
berijtihad dalam masalah-masalah yang belum digarap oleh imam-imam terdahulu
dan dalam menggarap masalah-masalah tersebut ia menggunakan ushul imam yang
diikutinya.
III.3.4 Ijtihab Tarjih
Merupakan tingkat ijtihad paling rendah yang mana
mujtahid tidak berijtihad baik dalam ushul, furu’, maupun dalam masalah-masalah
yang belum diijtihadkan dan diriwayatkan hukumnya oleh imam. Mujtahid hanya
memilih saja diantara pendapat-pendapat sudah ada melalui tarjih , dengan
cara-cara yang sudah ditentukan oleh para pendahulu-pendahulunya.
Dengan
demikian ada dua macam tarjih dalam ushul figh, ialah tarjih terhadap dalil
yang pada lahirnya bertentangan, dan ini bisa saja menjadi pekerjaan mujtahid
mutlak; dan tarjih terhadap pendapat yang sudah ada. Ini hanya merupakan
pekerjaan mujtahid dari tingkat yang paling rendah.
Berkaitan dengan ruang lingkup
ijtihad para ulama ushul sepakat bahwasanya ijtihad ini hanya terjadi pada
ayat-ayat yang bersifat zhanniyah,
karena sebagian dari materi-materi hukum dalam Al-Qur’an dan Sunah, sudah
terbentuk diktum yang odentik, yakni tidak mengandung pengertian lain, atau
sudah diberi interpretasi otentik oleh sunah itu sendiri. Di samping itu, juga
ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta
diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak atau berdasarkan ijma’.
Peraturan hukum islam seperti
kewajiba shalat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada orang tua, mengasihi orang
miskin, serta menyantuni anak yatim dan larangan berzina, mencuri, membunuh
tanpa hak dan lain-lain adalah termasuk kategori hukum islam yang sudah
diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak memerlukan
interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah begitu jelas dan otentik dalam
teori maupun praktek. Jenis peraturan tersebut disebut dengan mujma’’alaih wa ma’lum min al-din bi
al–dharrah dan bersifat qath’iyyah. Hal
ini diketahui secara terus menerus sejak dari masa Rasulullah SAW hingga saat
ini. Pengetahuan yang demikian memang sudah meyakinkan dan tidak perlu lagi
interpretasi. Hal demikian tidak perlu lagi diijtihadkan, sebagaimana
disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
“Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah
ada ketetapan nash”.
Salah satu contoh suatu
nash yang sudah tegas syarih lagi qath’i wurud dan qath’i dalalahnya ialah
seperti firman Allah S.W.T:
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki,
deralah masing-masing keduanya seratus kali” (Q.2 S.24. An-Nur).
Ruang
lingkup ijtihad secara rinci adalah sebagai berikut[8]:
1.Hukum yang dibawa oleh nash-nash
yang Zhanny, baik dari segi wurudnya, maupun dari segi
pengertiannya(dalalahnya) yaitu hadist ahad.
Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad
dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari itu.
2.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i,
tetapi dalalahnya zhanny, maka objek
ijtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
3.Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka obyek ijtihadnya
adalah para sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4.Tidak ada nash dan ijma’, maka disini ijtihadnya hanya
dilakukan segenap metode dan cara.
III.4 Syarat-syarat Mujtahid
Menurut Munawar Holil: “Ijtihad itu adalah menghabiskan kesanggupan
seorang faqih (ahli fiqih) untuk menghasilkan dzan(sangkaan) dengan menetapkan
suatu hukum syara’ dan orang yang menghabiskan/mencurahkan
kesanggupannya/kemampuannya demikian itu dinamakan Mujtahid”.[9]
Mujtahid
sebenarnya ialah seorang yang melakukan ijtihad secara bebas tidak mengikuti
atau mendasarkan kepada pendapat orang lain, suatu tingkat/martabat yang sangat
tinggi dalam lapangan hukum islam. Dengan kata lain ia berijtihad dalam ushul
dan furu’. Ijtihad ini hanya dapat dilakukan oleh mujtahid yang memiliki
delapan persyaratan, yaitu:
1.
Menguasai bahasa arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam
rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif
Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif
Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.
2.
Menguasai Al-qur’an
Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana
sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus
mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an
sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an
tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an
memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat
seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat, mengetahui
Asbab al-nuzul serta mengetahui nasikh dan mansukh dalam al-qur’an.
3.
Menguasai as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang
dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan
dari Nabi SAW, mengetahui ilmu diroyah hadits, mengetahui hadist yang nasikh
dan mansukh, dan mengetahui asbab al-wurud dalam hadis.
4.
Menguasai Qiyas
5.
Menguasai segi perbedaan dan kesempatan
pendapat ulama
6.
Memahami tujuan hukum
7.
Memehami pemahaman sehat dan
pertimbangan baik, dan
8.
Mempunyai iktikad baik
Seorang
mujtahid terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu[10]:
a.
Mujtahid mutlaq, ialah seorang ulama’/imam
yang sanggup menentukan suatu hukum dengan jalan istimbat langsung dari
Al-Qur’an dan Al-Hadist, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan
Imam Hambali.
b.
Mujtahid fatawi, ialah ulama’/imam yang
sanggup untuk melanjutkan (mencari mana yang kuat) dalam memahami dalil dan
tidak cukup kuat ber-istimbat langsung; contoh: Imam Rofi’ie, Imam Nawawi dan
sebagainya.
c. Mujtahid
mahzhab, ialah ulama/imam yang sanggup beristimbat dari kaidah-kaidah yang
dibuat oleh imam yang diikuti madzabnya; contoh: Imam Asnawi dan lain-lain.
IV.
KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan
untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan
dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan
kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks
di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam, yang
dibimbing oleh Muhammad Haidlor,S.Si., Lc, tentunya masih jauh dari
kesempurnaan. Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh
pembelajaran, untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah penulis. Harapan pemakalah semoga makalah ini dapat dijadikan
suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan
Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Zuhri,
Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009
Marbaie,
Achmad, Hukum Islam, Jember: Fakultas
Hukum UNEJ, 1999
Ash-shiddiq,
Hasbi, Pengantar Hukum Islam Tjetakan ke
II, Yokyakarta: PT Bulan Bintang, 1953
Ash-shiddiq,
Hasbi, Pengantar Hukum Islam jilid I, Yokyakarta:
PT Bulan Bintang, 1980
Nasution,
Harun, Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984
Yanggo,
Huzaemah T, Pengantar Pengantar
Perbandingan Mazhab, Jakarta: Gaung Persada(GP) Press, 1996
[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,
hlm 10
[2] M. Hasbi
Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam,
cetakan ke.2 1958, hlm 23-24
[3] Prof.Dr.Hj.
Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Pengantar
Perbandingan Mazhab, hlm 2
[5] H. Achmad
Marbaie, SH., MS., Hukum Islam Fakultas
Hukum UNEJ, hlm 48
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar