Minggu, 14 April 2013

Makalah Hukum Islam


MOHON MAAF APABILA ADA KESALAHAN DALAM MAKALAH
kritik dan saran sangatlah diharapkan. :D






KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Definisi Hukum Islam “.
Di dalam pembuatan makalah ini, kami berusaha menguraikan dan menjelaskan tentang definisi hukum islam. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H selaku dosen Hukum Islam Fakultas Hukum. Yang telah memberikan kami waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu kami mengharapkan saran, kritik dan petunjuk dari berbagai pihak untuk pembuatan makalah ini menjadi lebih baik dikemudian hari.
Semoga makalah yang telah kami buat ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan informasi pada masa yang akan datang, khususnya bagi Mahasiswa/I Fakultas Hukum Universitas Jember. Terima kasih




Jember, 25 maret 2013

Penulis


PENDAHULUAN

Sumber-sumber hukum islam adalah sumber-sumber yang dipakai acuan sebagai pedoman untuk berkehidupan Hablumminallah wa Hablumminanas. Sumber-sumber hukum islam antara lain : Al-Qur’an, Al-hadist, Ijtihad, Ijma’, Qaul shahabi, Qiyas, Maslahah, Mursalah, Urf syari’at umat sebelum islam, dan Istihan. Namun yang penulis bahas dalam makalah ini hanyalah sumber-sumber hukum islam yang berkaitan dengan Al-Qur’an, Al-hadist, Ijtihad, Ijma’, dan Qiyas.
Sumber-sumber hukum di atas bersifat naqli, yaitu Al-Qur’an, Al-hadist, Ijma’. Sedangkan yang bersifat aqli yaitu Qiyas dan Ijtihad, dalam hal ini berperan menjelaskan adalah akal.
Sumber-sumber hukum islam itu adalah aturan-aturan dalam agama Islam tidak bermaksud untuk memberatkan manusia dalam kehidupannya di dunia. Namun aturan Islam memuat berbagai manfaat yang dapat diraih oleh manusia bila mereka melaksanakannya dengan sempurna.

1.      Apa pengertian dari sumber hukum islam yang terdiri dari Al-Qur’an, Al-hadist, Ijtihad, Ijma’, dan Qiyas ?
2.      Apa Tujuan Diciptakannya Hukum Islam Tersebut oleh Allah SWT kepada Seluruh Umat Islam ?



PEMBAHASAN


Mengenai asal kata Al-Qur’an para pemuka agama berselisih pendapat. Menurut Asy-Syafi’i dalam sebuah buku yang berjudul “sumber-sumber hukum islam” kata Al-Qur’an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah. Al-Qur’an tidak berasal dari suatu kata tetapi ia merupakan sebutan khusus bagi kitab suci yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW.
Menurut Al Asy’ari dalam sebuah buku yang berjudul “sumber-sumber hukum islam” kata Al-Qur’an diambil dari kata “Qarana” yang berarti menggabungkan. Karena Al-Qur’an adalah meruipakan gabungan ayat-ayat dan surat-surat.
Menurut penelitian Dr. Subhi shalih, pendapat paling kuat dalam sebuah buku yang bejudul “sumber-sumber hukum islam” bahwa kata Al-Qur’an merupakan asdar dan muradif dengan “Qara’ah” sebagaimana dalam firman Allah syrat Al Qiyamah yang artinya : “sesunnguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaan itu” (QS. Al Qiyamah : 17-18)
Menurut istilah Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab yang di riwayatkan secara muatawatir dan tertulis dalam mushaf.
Ada beberapa ulama yang mengartikan Al-Qur’an menurut bahasa antara lain adalah Az-Zajjaj, beliau mengartikan bahwa Al-Qur’an artinya adalah mengumpulkan karena Al-Qur’an berasal dari kata “Qar’I” dan firman Allah disebut demikian, karena Al-Qur’an mengumpulkan surat-suratnya menjadi satu kesatuan, atau karena mengumpulkan saripat kitab-kitab suci Allah yang turun sebelumnya.
            Hadist menurut bahasa mempunyai beberapa arti yaitu : Jadid berarti baru ; Qarib berarti dekat ; Khabar berarti berita atau warta dan sebagainya.
            Dari ketiga arti tersebut yang sesuai dengan pembahasan adalah Hadist dalam arti Khabar. Allah memakai kata “Hadist” dengan arti Khabar dalam firman-Nya yang artinya : “maka hendaklah mereka mendatangkan suatu kabar yang sepertinya (Al-Qur’an) jika mereka itu orang-orang yang benar” (QS. At  thur :34).
            Dalam hadist kata “Hadist” juga dipakai dalam arti Khabar yaitu sabda Nabi saw yang artinya :
            “Hampir-hampir aka nada seseorang diantara kamu yang akan berkata : ”Ini kitabullah. Apa halal didalamnya kami halalkan. Apa yang haram kami haramkan. Ketahuilah, barang siapa sampai kepadanya suatu “Khabar” dari aku, lalu ia dustakan berarti ia telah mendustakan 3orang, dia mendustakan Allah, dia mendustakan Rasul-Nya, dan dia mendustakan orang yang menyampaikan berita itu”. (HR. ahmad dan Ad Damiry).
            Sebagian muhatsin berpendapat bahwa pengertian hadist di atas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka hadist mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. (hadist marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadist mauquf), dan tabi’in (hadist maqtu’), sebagaimana disebut oleh Al-Tirmizi.
            Artinya : “bahwasannya hadist itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang sisadarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang maukuf, yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan maqtu’ yaitu yang disandarkan kepada tabi’in”.
            Menurut istilah hadist mempunyai beberapa pengertian yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh berbedanya para ulama dalam memandang hadist.
            Menurut istilah hadist ialah segala ucapan segala perbuatan dan segla keadaan Nabi SAW. Sedangkan menurut para ulama ahli ushul, hadist adalah segala perkataan segala perbuatan dan segala taqrir (ketetapan) NabiSaw yang berkaitan dengan hukum. Berdasarkan pengertian hadist menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadist. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai Rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan Hadist adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya tata cara berpakaian cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadist.
Berdasarkan pengertian hadist di atas maka hadist dapat di bedakan menjadi tiga macam yaitu : Hadist Qouliyah, Hadist Fi’liyah, dan Hadist Taqririyah.
ü  Hadist Qouliyah
Hadist yang berupa perkataan. Seperti sabda Rasulullah SAW.
ü  Hadist Fi’liyah
Hadist Fi’liyah atau amaliyah adalah hadist yang berupa perbuatan. Seperti praktek wudhu Rasulullah shalat dan haji beliau, putusan beliau yang berdasarkan seorang saksi ditambah sumpah penggugat.
ü  Hadist Taqririyah
Ketetapan atau persetujuan Raslullah terhadap apa saja yang muncul dari tindakan sahabat beliau, baik berupa perbuatan perkataan, dengan cara diam dan tidak mengingkari atau menyatakan kerelaan dan menganggap baik hal tersebut.

1.3  Ijtihad

            Secara etimologi kata ijtihad terbentuk dari kata dasar “jahada” yang berarti seseorang telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat suatu tertentu.
            Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan fikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistibatkan) hukum-hukum yng terkandung dalam Al-Qur’an dan hadist dengan syarat-syarat tertentu.
            Sebagian ulama’ mendefinisikan ijtihad dalam pengertian umum bahwa ijtihad adalah menhasilakn (memaksimalkan) kesungguhannya dalam mencari sesuatu yang ingin dicapai sehingga dapat diharapkan tercapainya atau diyakini sampai kepada tujuannya.
            Menurut praktek sahabat ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah SWT, dan sunnah Rasulullah SAW baik melalui suatu nasakh yang disebut qiyas maupun melalui sesuatu maksud dan tujuan umum.
            Menurut mayoritas ulama’ ushul ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian ijtihad dhann (pendugaan kuat) mengenai hukum syara’.
            Dari definisi secara etimologi diatas mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingakt itu.

1.4  Ijma’

            Ijma’ berasal dari derivasi kata “jama’a” yang berarti gabungan, kumpulan, satuan dan yang semisalnya. Secara etimologi berarti ketetapan atau kesepakatan. Dinamakan demikian karena ijma’ “konsensus” muncul dari sekumpulan pendapat yang tertampung setelah melalui proses sharing pendapat dan hujjah yang dikemukakan.
            Secara terminology Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid tehadap suatu permasalahan hukum syara’ pada zaman setelah wafatnya Rasullulah SAW. Umumnya pemasalahan syara’ yang muncul tidak ditemui dalam nashsecara jelas. Semua mujtahid berkumpul dan saling berbagi pandangan. Pandangan-pandangan mereka itu dilandaskan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Dengan tujuan diperolehnya konklusi yang disepakati oleh seluruh mujtahid yang hadir. Menurut bahasa Ijma’ mempunyai dua arti yaitu :
a)      Kesepakatan seperti perkataan : “Jamaal qaumu ‘alaa kadzaa idzaa itafaquu alaihi”. Artinya suatu kamu telah berijma’ begini, jika mereka sudah sepakat kepadanya.
b)      Kebulatan tekat atau niat.
Imam Syafi’I dalam bukunya ar-risalah yang telah dikutip dalam buku Materi Pendidikan Islam Untuk Perguruan Tinggi menyatakan bahwa Ijma’ adalah kesepakatan seluruh umat islam dalam permasalahan tetentu yang sudah ma’ruf. Sebagai contoh Ijma’nya umat islam dalam pengharaman khamar, wajibnya puasa Ramadhan dan jumlah rakaat dalam shalat fardu. Mereka menyatakan bahwa kesepakatan seluruh umat islam tidak akan terjadi kecuali dalam hal-hal yang sudah jelas kedudukan hukumnya.

Ijma’ dapat di bagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Ijma’ Bayani
Ijma’ Bayani merupakan pendapat dari para ahli fiqih yang mengeluarkan pendapatnya masing-masing untuk menentukan suatu masalah, dan semua pendapat ini sama atau disepakati (ijmali). Ijma’ ini dilakukan dengan ijtihad yaitu berpikir sungguh-sungguh dengan mempergunakan intelektual atau akal, mempelajari sumber hukum islam yang asli (murni) yaitu Al-Qur’an dan Hadist Rasul kemudian mengalirkan garis hukum baru daripadanya.
2.      Ijma’ sukuti
Suatu pendapat dari seorang ahli hukum atau beberapa ahli hukum tetapi ahli-ahli hukum lainnya tidak membantah. Misalnya : semasa hidup Nabi, Nabi melakukan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat, di zaman Umar Bin Khattab r.a20 rakaat tidak ada sahabat yang membantah. Dengan ini shalat tarawih diterima dengan Ijma’ Suyuti.

Menurut bahasa qiyas berarti “menyamakan”. Menurut istilah ahli ushul Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum yang tidak bisa diketahui dengan semata-mata memahami lafadh-lafadhnya dan mengetahui dilalah-dilalah bahasanya.
Secara bahasa Qiyas berasal dari bahasa arab yang artinya hal mengukur, membandingkan aturan. Ada juga yang mengartikan Qiyas dengan mengukur suatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan Qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, Qiyas adalah menhubungkan atau menyamakan hukum suatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya. Ibnu subkhi mengemukakan dalam kitab Jam’u al-jawami, Qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui Karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut mujtahid yang menghubungkannya.
Qiyas sebagaimana yang diamalkan oleh para mujtahid adalah menghubungkan hukum suatu perkara dengan hukum perkara lain yang sudah ditetapkan, karena adanya persamaan dalam illat hukum, yang tidak diketahui dengan semata-mata memahami bahasanya. Qiyas merupakan hujjah ilahiyah yang datang dari sisi Allah untuk mengetahui hukum-hukum-Nya dan bukan merupakan perbuatan yang didatangkan bagi seseorang.
Makna Qiyas majazi merupakan amalan para mujtahid yang ditegakkan untuk mengistibatkan hukum syara’. Berdasarkan keterangan tersebut maka sebagian ulama mengatakan bahwa Qiyas itu adalah mengeluarkan hukum bukan menetapkan hukum.


 
Tujuan Allah SWT menciptakan hukum islam adalah agar umat manusia dalam
menjalankan kehidupannya dapat memperoleh manfaat, tidak kacau dan tidak tersesat. Hukum islam sendiri sebenarnya sudah jelas dan lengkap, sebenarnya tidak ada alasan lagi bagi manusia untuk mengabaikan hukum islam.
Hukum islam diciptakan agar umat islam mengenal aturan islam, pelaksanaan hukum bagi kaum muslimin sebenarnya tidak hanya mengejar tujuan hukum islam yang dijelaskan di atas. Namun lebih kea rah ketundukan seorang muslim kepada perintah dan larangan Allah SWT.
Hukum islam telah menerapkan aturan-aturan beserta hukum yang betujuan mencegah terjadinya kerusakan atas nasab dan keturuna manusia. Islam menetapkan aturan yang melarang umatnya mengosumsi segala sesuatu yang dapat merusak akal. Islam mengharamkan minuman yang memabukkan dan merusak ingatan seperti alcohol, narkoba, dan ganja. Disisi lain islam mewajibkan umatnya agar menuntut ilmu, mentadabuuri alam, dan berpikir untuk mengembangkan kemampuan akal. Allah memuji orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.   

Sumber-sumber hukum islam adalah aturan-aturan didalam agama Islam tidak bermaksud untuk membertakan manusia dalam kehidupannya di dunia. Namun aturan islam memuat berbagai manfaat yang dapat diraih oleh manusia bila mereka melaksanakannya dengan sempurna,
Definisi macam-macam hukum islam :
ü  Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
ü  Al-Hadist adalah segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan Nabi SAW. Sedangkan menurut para ulama’ ahli ushul, hadist adalah segala perkataan, segala perbuatan, dan segala taqrir (ketetapan) Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum. Berdasarkan pengertian hadist menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Baik ucapan perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di syari’atkan kepada manusia.
ü  Ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan fikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan engeluarkan (mengistibatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan syarat-ayarat tertentu.
ü  Ijma’ adalah kesepakan para mujtahid terhadap suatu permasalahan syara’ pada zaman setelah wafatnya RasulullahSAW. Umumnya permasalahan syara’ yang muncul tidak ditemui dalam nash yang jelas. Semua mujtahid berkumpul dan saling berbagi pandangan. Pandangan-pandangan mereka itu dilandaskan dengan Al-Qur’an dan Hadist.
ü  Qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya.

Tujuan diciptakannya hukum islam tersebut oleh Allah SWT kepada seluruh umat islam adalah tujuan Allah SWT menciptakan hukum islam adalah agar umat manusia dalam menjalankan kehidupannya dapat memperoleh manfaat, tidak kacau dan tidak tersesat. Melatih ketundukan seorang muslim kepada perintah dan larangan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Lismanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal
Azyumardi azra,toto suryana, h. iskhak abdulhaq, h. hafiduddin. 2002. Pendidikan agama islam pada perguruan tinggi islam. Jakarta.departemen agama RI
Daradjat,zakiah dkk, 2000. Ilmu pendidikan islam. Jakarta : bumi aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar